Filosofi Alun-Alun Menurut Simbahku dulu


Sore itu seperti biasa simbahku duduk di ruang tamu sambil ngelinting rokok dan minum kopi susu (Simbahku ini gak suka kopi item,gak seperti simbah-simbah yang lain).Pada waktu itu seingat saya sekitar pukul 3 sore,mbahku yang lagi sibuk minum kopi,ngerokok dan baca Koran itu tiba-tiba ngajakin ngobrol.Kalo simbah ngajakin ngobrol,biasanya lebih banyak berisi petuah-petuah dalam hidup.Memang namanya orang tua sukanya kan mengingatkan agar generasi muda tidak tersesat.


Wejangan simbah waktu itu kurang lebih berkisar tentang masalah Alun-alun Banyumas.Bagi masyarakat Saudagaran,alun-alun Banyumas adalah symbol budaya dan pusat dari Banyumas itu sendiri.Ketika itu simbah bilang gini “Fan,koe ngerti kae nang alun-alun mesthi sebelah tengene masjid lan sebelah kiwane penjara  (Fan,kamu tahu tidak bahwa di alun alun itu selalu sebelah kanannya masjid dan sebelah kirinya penjara).Mungkin maksud simbah ini,seperti diampit dari perspektif pendopo dimana kanan pendopo adalah masjid dan kiri dari pendopo adalah penjara

Ketika mendengar kata-kata simbah,saya sedikit tertegun.Hal ini karena saya juga teringat bahwa bangunan pemerintahan seperti Keraton,Alun-alun,Masjid dan lain sebagainya yang dibangun oleh pembesar jawa dulu selalu memiliki makna-makna simbolik.Masyarakat jawa jaman dahulu senang menyisipkan pesan,petuah dan berbagai ajaran-ajaran mulia kedalam bangunan dalam bentuk yang simbolik seperti jumlah tiang,letak bangunan hingga warna-warna tertentu.

Pandangan semacam ini bukanlah isapan jempol belaka.Saya mengingat ketika masih SMP dulu,pembicaraan mengenai keraton,alun-alun dan makna simbolis yang ada didalamnya termasuk salah satu hal yang diajarkan dalam mata pelajaran sejarah waktu itu.Namun seingat saya pelajaran sejarah tidak menyebutkan mengenai masalah lokasi masjid dan penjara disekitar alun-alun.

Kalo saya sendiri melihat lokasi penjara di sebelah kiri alun-alun memang memiliki makna simbolis dibandingkan fungsional.Alasannya cukup simple,meletakan penjara disebelah kiri alun-alun tidaklah memberi manfaat apapun.Hal ini justru menurut saya secara fungsional merugikan karena para penjahat yang ada ketika kabur dari penjara akan sangat mudah untuk berbaur atau mengancam masyarakat.Hal ini tentu merugikan,namun kenapa mereka tetap membangunnya disebelah kiri Alun-alun?.

Simbah nampaknya memberi saya pencerahan ketika beliau melanjutkan dengan berkata (“Urip kuwi kayak neng alun-alun (bergelombang),ari wong ora kuwat iso keplarak mlebu penjara ..Hidup itu layaknya seperti berjalan di alun-alun (yang dianggap bergelombang),jika manusia tidak kuat dan terpeleset maka ia akan bisa berakhir di penjara”

Simbah juga melanjutkan “Sejatining wong urip kuwi ya kudu cedhak karo Ulama,Mituhu maring gusti lan ngadhoi dosa (Pada dasarnya manusia hidup itu harus dekat dengan orang alim/ulama,Taat pada pemimpin dan menghindarkan diri dari dosa”.Dari pembicaraan kakek ini mungkin yang saya tangkap adalah bahwa Alun-alun sendiri didesain secara khusus untuk mengingatkan warga disekitar akan hal ini.

Memang benar bahwa kehidupan manusia itu seperti layaknya menyusuri lautan lepas.Terkadang terkadang tenang,terkadang ada gelombang dan bahaya.Ketika manusia kehilangan arah dan tujuan hidupnya.Ia akan kehilangan norma yang selama ini dipatuhinya (masyarakat,hukum,agama dan kesopanan).

Pada akhirnya orang-orang yang semacam ini akan tersesat dan mulai menerabas norma (melakukan kejahatan,tindakan asusila dan berbagai tindakan lain yang melanggar norma).Dengan dibangunnya masjid dan penjara di kanan dan kiri alun-alun maka masyarakat senantiasa diingatkan mengenai makna hidup itu sendiri.

Hal ini menarik karena banyak anak muda yang senang berkata hal-hal seperti "Aku sedang mencari jati diri" atau "aku sedang mencari makna hidup".Pada akhirya ada beberapa diantara mereka yang menemukan makna hidup yang dicari.Ketika ditemukan mereka mungkin akan tertawa karena makna hidup yang selama ini dicari ada didekat mereka sendiri yaitu mengabdi pada Tuhan YME.

Namun,banyak juga yang tersesat dalam hidupnya ketika bertemu dengan pertanyaan ini.Ada dari mereka yang pada akhirnya memaknai hidup dengan bersenang-senang,ada yang memaknai hidup dengan melakukan hal hal aneh diluar nalar,ada pula yang akhirnya gila karena tidak bisa menemukannya.

Analogi kehidupan melalui alun-alun ini nampaknya seperti sebuah petuah yang secara terang-benderang ingin disampaikan oleh para leluhur untuk kita semua.Bahwa kehidupan ini pada dasarnya fana.Kita yang fana ini terkadang terhempas gelombang kehidupan.Bagi mereka yang kuat akan mendekati kebajikan sementara bagi mereka yang tersesat pada akhirnya berakhir ditempat seperti penjara.

Namun demikian,meskipun seseorang tersesat bukan berarti ia akan tetap seperti itu selamanya.Kesalahan dalam hidup adalah sesuatu yang tidak bisa kita hilangkan dari ingatan namun bisa kita perbaiki.Rasa penyesalan dan dosa karena melakukan sesuatu pada akhirnya dapat dihilangkan jika kita menyadari bahwa akan ada selalu ada jalan menuju ke kebenaran (dalam hal ini disimbolkan sebagai masjid).

Gelombang (alun-alun) akan bisa menghempaskan manusia ke kanan maupun ke kiri.Pada akhirnya semuanya akan kembali pada manusianya itu sendiri.Meskipun demikian,dengan mengetahui dan menginsyafi dimana kita berpijak sekarang.Kita pada akhirnya dapat melangkah kejalan yang benar (amiin).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Tokoh Pewayangan bernama Bagong

Kesan Mendalam Nonton Anime Trickster

Kesenian Daerah,Antara Hidup dan Mati