Harmoni,Jarkoni dan Kemunduran kebudayaan Jawa


Tulisan singkat ini sebenarnya terinspirasi dari sebuah renungan kecil ketika menghirup sebatang rokok ditengah malam.Mari kita mulai pembicaraan ini dengan sebuah pertanyaan apakah benar kebudayaan jawa mengalami kemunduran?jawabanya bisa iya bisa tidak.Bagi saya sendiri budaya adalah sesuatu yang hidup bersama dengan masyarakat dan bertransformasi seiring dengan perkembangan masyakarat itu sendiri.Dari perspektif ini sulit dipahami bahwa sebuah kebudayaan mengalami kemunduran karena pada hakekatnya ia akan terus bertambah seiring semakin majunya masyarakat itu sendiri.


Lalu bagaimana kita bisa melihat kemunduran ini?saya memahaminya dengan 2 buah indikator yakni jumlah inovasi budaya baru yang dimunculkan dan kedua bagaimana dampak budaya itu sendiri dalam masyarakat.Pertama,dari segi jumlah budaya baru didalam budaya jawa sendiri,kita melihat bahwa inovasi dalam budaya Jawa cenderung stagnan.Kita melihat ada beberapa inovasi baru dalam budaya Jawa seperti memasukan unsur budaya jawa dalam nyanyian rap atau memasukan budaya Jawa kedalam film-film dan budaya modern lainnya.

Namun demikian,inovasi semacam ini tidaklah terlalu banyak.Jumlah inovasi yang muncul tidak sebanding dengan perkembangan masyarakat Jawa sendiri yang cenderung pesat.Hal ini membuat budaya Jawa cenderung jalan ditempat.Hal ini masih diperparah dengan hilangnya budaya Jawa didalam keluarga seperti hilangnya sopan satun (Unggah-ungguh) dan hilangnya bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu bagi mereka yang tinggal di perkotaan.Seringkali kita tidak tahu jika teman kita sama-sama orang Jawa jika orang itu sendiri tidak bercerita tentang asal-usulnya.

Hal kedua yang membuat budaya Jawa mengalami kemunduran adalah karena budaya Jawa sendiri tidak dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.Masalah praktek ini akan bersangkut paut dengan hal kedua yang ingin saya bahas yakni masalah Jarkoni.Bagi orang Jawa istilah Jarkoni bukanlah istilah asing.Istilah Jarkoni (Teyeng Ngajar rak Teyeng Nglakoni) bermakna bahwa banyak orang yang bisa mengajar namun orang yang mengajarkan hal tersebut belum tentu bisa menjalankan apa yang diajarkan.Hal ini bisa disamakan dengan istilah Hipokrit alias munafik dalam bahasa Arabnya.

Banyak orang-orang tua/sepuh yang senang memberikan wejangan tentang keluhuran budaya Jawa.Apa yang mereka ajarkan tidaklah salah.Namun demikian,ajaran tersebut akan lebih mengena jika ia dipraktekan langsung didalam lingkungan masyarakat atau keluarga.Seringkali ajaran-ajaran luhur itu hanya berhenti pada diskusi keluarga atau ketika seorang kakek mengajarkan budaya itu pada cucunya.Sebagai konsekuensinya maka muncul apa yang kita kenal sebagai “wong jowo ilang jawane”.

Pada tahapan ini saya sepenuhnya menempatkan pola wejangan Jarkoni sebagai dalang dari semua itu.Pola budaya asing memang memiliki dampak besar terhadap hilangnya budaya Jawa dari masyarakat Jawa itu sendiri.Namun,ketika kebudayaan Jawa melekat kuat pada diri seorang Jawa maka ia akan susah untuk tergantikan oleh budaya asing manapun.Saya membandingkan dengan budaya Jepang.Budaya Jawa dan Budaya Jepang sebenarnya memiliki kesamaan yakni keduanya menjunjung tinggi Harmoni.

Harmoni adalah inti dari kebudayaan Jawa.Konsep harmoni mengantarkan masyarakat Jawa dan Juga Jepang menjadi masyarakat yang cenderung konservatif.Masyarakat seperti ini ditandai dengan prilaku pasif,tidak suka membuat onar,non konfrontif dan cenderung kaku.Jika kita membandingkan keduanya sekarang kita bisa melihat bahwa baik orang Jawa dan Jepang memiliki ciri-ciri yang saya maksudkan.Namun demikian,hal ini mulai luntur dalam kebudayaan orang Jawa modern.

Kebudayaan Jawa modern sekarang mulai kehilangan kekakuannya,meskipun masih terlihat pasif dan non konfrontif.Sebagai konsekuensinya masyarakat Jawa terlihat sebagai masyarakat yang tidak kompetitif dan cenderung “nrimo”.Hal ini juga menjadi masalah tersendiri karena di era modern konsep semacam ini membuat masyakarat Jawa menjadi sulit untuk maju.

Dari sisi Jarkoni,kita juga melihat bahwa keluhuran budaya Jawa hanya berhenti pada ranah ucapan dan tidak berlanjut pada ranah praktek.Mari kita misalkan.ada sebuah pepatah yang berbunyi “Aja Cedhak Karo Kebo Gupak”,pepatah ini bermakna jangan terlalu dekat dengan orang yang tingkah lakunya jelek karena kita akan terkena imbas negatifnya.Simplenya pepatah Jawa ini mengajarkan pada kita agar hati-hati memilih teman.Ajaran luhur ini hanya dimaknai sampai pada batas ini.Ia dimengerti namun tidak secara mendalam dipraktekkan.

Hal ini berbeda dengan orang Tionghoa yang saya lihat baik secara langsung atau tidak langsung mengamalkan ajaran ini.Mereka cenderung lebih selektif dalam memilih dengan siapa mereka bergaul.Disatu sisi,bagi kita hal ini bisa dilihat sebagai eklusifitas namun jika kita berpikir lebih jernih tindakan tersebut berguna agar si anak itu sendiri tidak terjerumus pada pergaulan yang tidak baik.Saya masih ingat seorang teman di Jaman SMA (yang kebetulan keturunan Tionghoa).Orang tua teman saya ini berusaha mati-matian menempatkanya di sekolah terbaik,memperoleh kelas terbaik hingga bergaul juga dengan anak-anak yang dianggap baik.

Saya juga masih ingat ketika teman saya ini gagal masuk jurusan IPA,orangtuanya langsung memindahkanya ke sekolah lain dengan harapan ia bisa masuk Jurusan IPA dan kuliah di Jurusan kedokteran.Hal ini memang terlihat ambisius bagi kita.Namun disisi lain hal itu juga merupakan bentuk kasih sayang orang tuanya yang menginginkan si anak ini sukses.Hal yang demikian inilah yang saya tidak lihat terjadi pada keluarga teman-teman saya sesama orang Jawa.

Kami sebagai orang Jawa meskipun diharapkan memperoleh nilai baik di sekolahan namun tidak pernah kami diberikan arahan kemana harus melangkah.Hal ini disatu sisi baik karena cenderung tidak terkesan mendikte namun disisi lain juga bisa menjadi negatif karena kita bisa terjerumus pada pergaulan yang kurang baik dan tidak bisa memutuskan akan dibawa kemana masa depan saya berikutnya.Hal inilah yang sampai saat ini masih saya sesalkan.

Simplenya,inti dari tulisan ini adalah jangan sampai kita menjadi Yunani kedua.Kebudayaan Yunani yang begitu tinggi tidak mampu membawa Yunani menjadi Negara yang benar-benar maju.Hal ini disebabkan oleh faktor yang kurang lebih sama dengan apa yang saya kemukakan sebelumnya.Disisi lain,Amerika yang mengadopsi budaya Yunani sebagai dasar negaranya berkembang begitu pesat karena mereka benar-benar menjalankan budaya Yunani kedalam pemerintahanya.Lalu,apakah sebagai orang Jawa kita ingin bernasib sama dengan Yunani?saya harap tidak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Tokoh Pewayangan bernama Bagong

Berbincang masalah mineral water di Indonesia..

Iklan Anti Rokok di TV Kok Gak Etis..??