Pilihan Ganda,Sumber Kehancuran Pikiran Kritis Bangsa


Kesempatan kali ini saya ingin berbicara mengenai hal yang cukup simpel yakni soal pilihan ganda.Soal pilihan ganda seringkali diujikan dari level SD sampai SMP.Mulai dari ulangan harian hingga seleksi masuk perguruan tinggi hingga bahkan tes masuk pegawai negeri sipil.Namun,sejujurnya saya sendiri termasuk orang yang sangat membenci soal pilihan ganda.Kenapa?ada beberapa alasan.


Alasan pertama,soal pilihan ganda tidak bisa menilai dengan objektif.Kita masih ingat gurauan teman sekelas kita di jaman SD ketika ditanya “kamu bisa ngerjain ulanganya?” dan si kawan akan menjawab “aaah itung kancing ajalah…”.Konsep hitung kancing muncul sebagai wujud frustasi sang kawan karena tidak bisa menjawab.Namun,ajaibnya si kawan ini dapat nilai tinggi meskipun  jawaban yang diberikan hanya asal tebak.Hal ini menunjukan bahwa soal pilihan ganda tidak bisa memberikan penilaian secara objektif mengenai kemampuan asli dari siswa yang bersangkutan.

Alasan kedua,soal pilihan ganda itu menghilangkan daya nalar kritis kita.Hal ini sangat terlihat untuk soal-soal yang terkait hapalan misalkan sejarah.Salah satu soal yang paling legendaris mungkin adalah soal tentang “Kapan terjadinya perang Diponegoro”,kemudian disusul dengan jawaban seperti 1825,1830 dst.Disini baik pembuat soal maupun siswa tidak diajak untuk mengerti mengenai hal yang lebih penting yakni “kenapa Pangeran Diponegoro memberontak kepada  VOC”,apakah karena masalah jalan yang melintasi makam keluarganya atau ada sebab lain?atau kenapa begitu mudahnya Pangeran Diponegoro itu diperangkap VOC?adakah sebab lain?konsep penalaran kritis seperti inilah yang tidak muncul dalam soal-soal pilihan ganda.

Alasan ketiga,soal pilihan ganda membuat kita terpaku bahwa setiap masalah hanya memiliki solusi tunggal.Bagi saya ini terkait dengan konteks bepikiri analitis-kritis.Bagaimana tidak,karena kita selalu dihadapkan dengan soal pilihan ganda,dalam kehidupan nyata kita selalu berpikir bahwa hanya ada satu solusi terbaik untuk setiap masalah.Pemikiran seperti ini menurut saya mengerikan,karena solusi tidak selalu muncul dalam bentuk satu jawaban tunggal saja.

Kita misalkan ada permasalahan membuat rumah.Kalo kita bandingkan rumah-rumah diseluruh dunia itu memiliki desain yang berbeda,material yang berbeda hingga  teknik pembuatan yang berbeda.Soal pilihan ganda seperti layaknya mengatakan bahwa cuma ada satu cara membuat rumah,padahal tentu saja hal ini tidak benar.Lalu kenapa sampai sekarang kita masih menggunakan soal pilihan ganda meskipun tahu ada begitu banyak kelemahan yang ada?

Salah satu penyebabnya adalah karena soal pilihan ganda memiliki kelebihan yang memudahkan penilai untuk memberikan evaluasi.Evaluasi ini juga akan terkait dengan lamanya evaluasi dan banyaknya uang yang harus dikeluarkan dalam melakukan evaluasi tersebut.Soal pilihan ganda membatasi jawaban sehingga evaluasi atas pertanyaan itu mudah dilakukan.Ujian-ujian skala besar seperti Ujian Nasional,Ujian Masuk Perguruan Tinggi hingga Ujian Masuk  PNS merupakan ujian besar sehingga hal-hal seperti uang,waktu dan kemudahan menjadi hal yang  diutamakan.

Tentu saja,hal ini disayangkan karena  sebenarnya kita bisa memberikan lebih banyak soal semi terbuka yang memaksa para siswa untuk berpikir mengenai “mengapa” alih-alih hanya berfokus pada “apa”.Lalu kenapa kepedulian akan soal pilihan ganda ini muncul?karena masalah hilangnya keinginan berpikir kritis dari anak itu sendiri.Padahal nyawa dari seorang pelajar atau penuntut ilmu pada dasarnya adalah rasa keingin tahuanya yang selalu mempertanyakan “mengapa” alih-alih “apa”.

Kita sadar ketika seorang anak kecil sering bertanya mengenai segala hal disekitarnya?si anak sering bertanya kenapa kenapa rambut ibunya memutih,kenapa ibunya memakai rok,kenapa lampu stop berwarna merah dan lain sebagainya.Ketika si anak ini sering bertanya kadang kedua orangtuanya  kewalahan untuk menjawabnya dan seringkali justru  disuruh main diluar,diberi gadget,atau bahkan dibentak.Disinilah tingkat daya kritis anak menurun,dan lebih parahnya lagi hal ini ditambah dengan soal pilihan ganda yang  anak-anak itu harus kerjakan.Sungguh miris rasanya.

Padahal salah satu kunci kemajuan bangsa adalah ketika mereka terus mempertanyakan mengenai “mengapa” alih-alih “apa”.Ketika daya nalar kita mati,maka kita akan seperti  sebuah ungkapan lama “Bagai kerbau yang dicocok hidungnya”.Kita akan cenderung menjadi pasif dan menuruti segala hal yang diberikan kepada kita dan kita akan cenderung menerimanya secara  mentah-mentah.Bayangkan dalam skala yang besar,penguasa menginginkan A dan semua orang menuruti  apa yang penguasa ini mau tanpa bepikir terlalu banyak mengenai  kenapa si penguasa menginginkan hal tersebut atau apakah hal tersebut dapat merugikan saya? Dan masih banyak lagi permasalahan yang muncul .Maukah kita menjadi kerbau itu?tentu tidak bukan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Tokoh Pewayangan bernama Bagong

Kesan Mendalam Nonton Anime Trickster

Kesenian Daerah,Antara Hidup dan Mati